Filantropi George Soros dan Neo-Kapitalisme
George Soros adalah sosok yang unik. Sebagian menuduhnya sebagai
“pialang saham” yang posisinya sejajar dengan “perampok uang”
publik. Sebagian lainnya menganggapnya pelaku ekonomi yang berhaluan sosialis
- kiri, tetapi sejatinya liberal. Soros mendirikan banyak lembaga yang bergerak
dalam bidang amal sosial (filantropi) atas kekayaan yang dikumpulkan dari bermain
saham.
Itulah sosok unik George Soros yang hendak dijadikan pijakan dalam seminar bulanan
serial great thinkers bidang ilmu sosial. Tentu saja tidak bermaksud menjadikan
George Soros sebagai “dewa” dalam ilmu sosial (khususnya ekonomi),
tetapi membacanya secara kritis untuk konteks ekonomi global yang sekarang sedang
berkembang dan berdampak pada sistem ekomoni Indonesia.
Ekonom senior Dawam Rahardjo menyebutnya sebagai seorang yang
bermazhab Poperian sehingga mengintrodusir tentang open society, bahkan
Open Society kemudian manjadi salah satu lembaga sosial yang George
Soros dirikan dengan nama: Open Society Foundation yang bergerak dalam memberikan
dana pada beberapa lembaga social (LSM) untuk mengambil isu-isu semacam penguatan
hak-hak warga negara dalam hal berpolitik, beragama, dan penguatan hukum disamping
pendidikan multikulturalisme.
Dawam dengan kemudian menyebut George Soros dengan sebutan seorang liberal kapitalis
tetapi masih memiliki kemanusiaan. Dia seorang Marxis tetapi dekat dengan kesalehan
demikian dalam bahasa lain dapat dirumuskan. Dalam sebuah ungkapan yang ditulisnya
sendiri, George Soros berujar: “Saya merasa lebih mudah untuk mengumpulkan
uang lalu membagikannya ketimbang memasukkan pertimbangan-pertimbangan moral.
Saya telah menjadi “gigantic digestivtract”- sebuah mesin
uang raksasa yang mampu menelan uang besar dan kemudian mengeluarkannya. Dalam
perspektif ini, saya membentuk visi saya tentang peran uang sebagai suatu mekanisme
yang efisien tapi tanpa kemanusiaan. Pasar uang menjadi moral dan itulah sebabnya
ia begitu efektif. Dan justru karena itulah pasar uang tidak boleh dibiarkan
menentukan masa depannya sendiri”.
Dalam kesempatan yang sama Soros juga berujar: “Sistem kapitalisme global
dapat disejajarkan dengan sebuah imperium… bukan berupa imperium territorial,
karena tidak berdaulat langsung terhadap Negara-negara anggota; bentuknya pun
hampir tidak terlihat, sebab ia tidak memiliki struktur formal, tetapi jelas
ia mengendalikan mereka yang menjadi anggota dan bahkan memperlihatkan tendensi
ekspansionis. Ekspansi bukan dalam pengertian geografis tetapi dalam pengertian
makna ruang lingkup dan pengaruh”. Soros menlanjutkan: “Sistem kapitalisme
menekankan persaingan dan mengukur keberhasian dalam terminology uang. Peran
uang telah menggeser nilai-nilai intrinsik dengan pasar makin mendominasi bidang-bidang
kehidupan sebenarnya bukan tempatnya”
Dari pelbagai gambaran seperti diatas, kita perlu mendiskusikan dengan jernih
dan tajam sebenarnya apa yang ada dibalik gagasan filantropi George Soros dengan
konsep Open Society-nya yang dianggap derivasi dari Karl Popper dalam
falsafah eksistensialisme. Apakah relevansi pemikiran filantropi dengan gagasan
neo kapitalisme yang sekarang tengah berkembang dengan pesat? Mungkinkah negeri
ini beranjak dari Kepungan neo kapitalisme global” ataukah semakin mengikuti
dan terjerat dalam gelombang neo kapitalisme? Adakah ruang untuk menegosiasikan
dan melakukan counter hegemoni atas berkembangnya neo kapitalisme sebagaimana
disinyalir oleh George Soros?
Nara sumber:
Waktu dan tempat :
Hari/Tanggal : Rabu, 24 Maret 2010
Tempat : Ruang Seminar Lt 5, Gedung Pascasarjana UGM, Barek Pogung Utara.
Waktu : 08.30 - 12.00
Host : Dr. Zuly Qodir
Tujuan
Peserta
Sekretariat :
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Jl. Teknika Utara, Pogung Yogyakarta No. Telp (0274) 544975, 555881
No. Fax. (0274)564239, 547861
Contact Person :