Kontestasi Gender dalam Konflik Kekerasan dan Perdamaian di Aceh

Yogyakarta (22/4) Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Gadjah Mada menggelar ujian terbuka untuk promosi doktoral atas nama mahasiswa Arifah Rahmawati dari Program Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan. Ujian terbuka berlangsung di Auditorium Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, pukul 10.00 hingga 12.00. Pada kesempatan ini, Arifah Rahmawati memaparkan hasil riset disertasinya yang berjudul Kontestasi Gender dalam Konflik Kekerasan dan Perdamaian (Studi Reintegrasi Kombatan Perempuan Gerakan Aceh Merdeka – Inong Balee).

Menurut Arifah, konflik kekerasan yang terjadi di Aceh telah menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat sentral baik dalam lingkup mikro, mezzo maupun makro. Namun, ketika konflik telah berhenti peran-peran tersebut sama sekali tidak dilihat dan diakui. Perempuan seringkali hanya ditempatkan sebagai korban dan ditempatkan sebagai pihak yang pasif. Perempuan dianggap sebagai pihak yang tidak mempunyai kemampuan, kebutuhan, hak, tanggungjawab serta akses terhadap sumberdaya ekonomi, sosial dan politik.

Dalam disertasinya, Arifah Rahmawati mempertanyakan tentang “Bagaimana kontestasi gender dalam pelaksanaan reintegrasi kombatan perempuan di Aceh”. Pertanyaan ini ia spesifikkan dalam tiga pertanyaan turunan: (1) Bagaimana gender berpengaruh terhadap keterlibatan perempuan dalam konflik berkekerasan dan perdamaian, khususnya reintegrasi di Aceh?, (2) Bagaimana reintegrasi kombatan memunculkan siklus ketidakadilan gender di Aceh dan (3) Bagaimana ketidakadilan gender tersebut disikapi oleh para perempuan kombatan. Untuk menjawab dan memahami hal tersebut, Arifah menyempitkan fokus penelitiannya dengan meneliti sudut pandang hubungan kekuasaan berbasis gender yang muncul dari para perempuan bekas kombatan GAM yang dikenal sebagai Pasukan Inong Balee.

Arifah mengungkapkan salah satu temuan penting dari risetnya adalah bahwa gender berkontribusi pada proses reintegrasi para Inong Balee yang bersifat kontestatif dalam konteks hubungan dalam kombatan GAM secara umum (laki-laki dan perempuan). Gender juga berkontestasi di antara Inong Balee sendiri sehingga terdapat hierarki dan wajah Inong Balee yang tidak homogeny. Hirarki Inong Bale ditentukan oleh ada atau tidaknya kekuasaan atau hubungan dengan pemimpin GAM laki-laki.

Selanjutnya Arifah menjelaskan jika proses bina damai di Aceh telah menghasilkan siklus ketidakadilan gender bagi perempuan kombatan, Inong Balee. Penyingkiran terhadap perempuan bekas kombatan dari proses bina damai dan reintegrasi di Aceh merupakan sebuah kesempatan yang hilang untuk mengubah makna heroism perempuan dan pengakuan terhadap kekuatan agensi perempuan dalam rekonstruksi pasca konflik.

Arifah memberikan beberapa rekomendasi berdasar hasil temuannya: (1) bahwa gender sangat penting untuk diintegrasikan dalam setiap tahap penyelesaian konflik dan bina damai dalam rangka membangun kembali masyarakat yang setara sekaligus mendorong  adanya perdamaian yang berkelanjutan di Aceh. (2) Ketika perempuan mempunyai pengalaman yang berbeda-beda pada saat terjadinya konflik kekerasan dan sesudahnya maka mempertimbangkan persoalan, pengalaman dan pendapat mereka berarti telah menyelesaikan kebutuhan lebih dari separoh masyarakat, (3) memastikan adanya kepedulian terhadap hubungan gender yang inklusif pada setiap tahap dan strategi bina damai yang telah direncanakan secara.

Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada ini berhasil dinyatakan lulus sebagai Doktor dengan predikat Cumlaude. (SPs/Putri)