Nina Mayesti Raih Gelar Doktor Melalui Penelitian Wacana Perpustakaan Pada Film Indonesia

Jogja, SPs UGM (9/7) Pemerintah mendudukkan perpustakaan sebagai sebuah institusi yang memiiki peran penting khususnya dalam bidang pendidikan, namun bagaimana masyarakat memandang perpustakaan? Pertanyaan tersebut yang menjadi akar permasalahan yang diangkat dalam disertasi Nina Mayesti, S.S., S.Kom., M.Hum, dan telah berhasil dipertahankan dalam ujian terbuka promosi doktor dalam Ilmu Kajian Budaya dan Media, Senin (9/7) di Auditorium Gedung Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin Universitas Gadjah Mada.

Dengan judul disertasi “Berkaca Di Layar Lebar: Wacana Tentang Perpustakaan Dalam Film Indonesia Era Milenium Ketiga” ini, Nina berhasil menjadi doktor ke-4016 yang lahir dari UGM. Dosen Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, FIB Universitas Indonesia ini memilih film Indonesia menjadi objek penelitiannya. “Adegan yang berlatar perpustakaan dalam film Indonesia bisa menjadi gambaran mengenai perpustakaan di Indonesia. Kerena itu film menjadi salah satu teks yang penting untuk dapat melihat wacana tentang perpustakaan yang berkembang di masyarakat” tutur Nina.

Nina menjelaskan bahwa dari film-film tersebut, perpustakaan sebagai bagian yang terpinggirkan dan tidak dianggap penting dalam unsur naratif film, perpustakaan secara fisik direpresentasikan sebagai ruang marjinal yang kuno, sempit, berdebu, berantakan, bahkan terkesan menyeramkan, dan perpustakaan juga merupakan tempat yang dihuni oleh kaum marjinal. Pembuat film juga terlihat masih menciptakan wacana tentang perpustakaan hanya sebatas penyedia layanan koleksi buku. “Pustakawan juga digambarkan sebagai perempuan tua dengan penampilan busana formal dan konservatif serta tata rambut yang ketinggalan zaman,” jelas Nina.

Berbagai kesenjangan yang direpresentasikan dalam film Indonesia tidak lepas dari beragam wacana yang turut membentuknya. “Cara pandang terhadap perpustakaan sebagai lembaga nirlaba atau cost center, yang berimplikasi pada minimnya anggaran dan kurangnya promosi, belum kuatnya penghargaan terhadap institusi pengetahuan, lemahnya budaya baca dan riset di masyarakat Indonesia menjadi penyebab terbentuknya wacana tentang perpustakaan sebagaimana yang diproduksi dalam film Indonesia”, ucap wanita kelahiran Sungai Gerong, Palembang ini.

Nina juga menjelaskan bahwa perpustakaan sebagai salah satu lembaga yang memproduksi pengetahuan seharusnya memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat dalam bentuk lain di luar finansial. “Namun dengan cara pandang yang belum beranjak dari persoalan menomorsatukan finansial, tentu saja perpustakaan, sebagai lembaga yang tidak menghasilkan keuntungan dalam bentuk finansial secara langsung akan senantiasa terpinggirkan”, pungkas Nina. (ags)