

Jogja, SPs UGM, (31/01), Dede Syarif, S.Sos, M.Ag., berhasil meraih gelar doktor Inter-Religious Studies Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Pada acara pengukuhan doktor yang berlangsung di Auditorium Gedung Sekolah Pascasarjana UGM tersebut, Dede memaparkan isi disertasinya yang berjudul Shi’a Socio-Religious Identity Transformation And Anti-Shi’a Sentiment In Post Reformasi Indonesia.
Dede menjelaskan bahwa transisi politik dari rezim Orde Baru Indonesia menuju pemerintahan demokratis menimbulkan peningkatan identifikasi dan atribusi agama dalam kehidupan politik, terbukti beberapa partai politik Islam berpartisipasi dalam pemilihan umum. “Namun di samping institusi politik formal seperti partai politik Islam, demokrasi Indonesia juga membawa peningkatan kelompok islami garis keras dan kekerasan komunal antar kelompok agama di masyarakat,” ujarnya.
Meskipun serangan terhadap kelompok minoritas telah terjadi sebelum Reformasi Indonesia, namun eskalasi tersebut meningkat sejak tahun 2006. Ketegangan hubungan antara Sunni-Syiah di Indonesia tidak lepas dari konteks geopolitik, terutama persaingan antara Iran dan Saudi. “Sejak tahun 1970an, hubungan Sunni-Syiah di Timur Tengah mengalami tekanan yang berulang sebagai akibat dari pecahnya geopolitik, terutama pada Revolusi Irian tahun 1979,” jelas Dede.
Pada beberapa kasus, lanjut Dede, seperti di Bandung, Jakarta, Bogor, dan Sampang, ketegangan antara Sunni-Syiah terhubung dengan populasi dari komunitas tersebut. Namun, ini bukanlah menunjukkan jumlah populasi yang meningkatkan hubungan negatif antara Sunni dan Syiah, tetapi lebih kepada proses minorisasi.
Dalam disertasinya, Dede menyimpulkan bahwa sentimen anti-Syiah telah berkembang menjadi lebih sistematik dan terorganisir. Setiap upaya untuk menekan Syiah tidak lagi memakai cara lama yaitu dilakukan oleh pelaku atau organisasi secara tunggal maupun terpisah melalui publikasi buku dan pemberitaan sehingga lebih tertarget. “Oleh karena itu, tekanan yang menargetkan Syiah di beberapa lokasi dianggap sebagai penghubung dengan lingkungan yang lebih luas di tingkat lokal dan global untuk homogenisasi Islam,” ucapnya.
Dede juga menyampaikan bahwa dibutuhkan analisis lebih lanjut terhadap masalah-masalah lainnya. Salah satunya adalah jangan sampai kita mengabaikan penindasan terhadap suatu kelompok sehingga membentuk sentimen yang terus menerus seperti yang terjadi pada anti-Syiah. “Kemudian, yang menyebabkan keprihatinan adalah para pemimpin yang memiliki ideologi absolut dengan peran untuk menyampaikan pidato-pidato kebencian di dalam kelompoknya,” tutup Dede yang juga menjadi lulusan doktor ke-3878 dari UGM ini. (ags)