

Jogja, SPs UGM (30/1) “Ingatan tentang gerakan DI/TII yang dipimpin oleh Abdul Kahhar Mudzakkar menempati beragam lokus ingatan di Sulawesi Selatan, baik dalam wacana sosio-politis maupun etnik-keagamaan,” ucap Lidya Kambo Tandirerung, S.Th., M.A., M.Th., saat Ujian Terbuka Promosi Doktor Inter-Religious Studies Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Selasa (30/01).
Dalam acara yang berlangsung di Auditorium Gedung Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada ini, Lidya menyampaikan bahwa salah satu ingatan tersebut dimiliki oleh masyarakat Toraja, suku yang tinggal di pegunungan Sulawesi Selatan. Ingatan tersebut berupa ingatan Islamisasi dalam wujud pemaksaan agama selama kurun waktu 1950-1965. “Ingatan pemaksaan agama dan kekerasan lainnya terhadap pihak yang menolak pemaksaan agama menjadi ingatan yang diturunkan paling kurang tiga generasi dan menjadi sebuah memori kolektif,” ungkapnya.
Penelitian mengenai memori kolektif ini masih tergolong baru dan terkait dengan psikologi, sosiologi, dan antropologi. Masih sedikit pengetahuna tentang mengapa dan bagaimana ingatan tentang pendudukan DI/TII terbentuk dalam memori kolektif masyarakat Toraja. Ingatan yang menggambarkan penderitaan tersebut telah dipakai sebagai alat legimitasi propaganda antar etnis dan antar agama, serta kepentingan politis tertentu. “Kecenderungan ini akan membawa kepada terbangunnya sikap etnik-keagamaan yang sempit dan eksklusif,” jelas wanita kelahiran Rantepao, Tana Toraja, 31 Desember 1969 ini.
Dalam disertasi yang berjudul Forced Religious Conversion by DI/TII Movement in Tana Toraja during 1950-1965: A Study of Collective Memory and Ethno-Religious Identity ini, Lidya menjelaskan bahwa struktur sosial, kultural, politik, dan keagamaan dalam masyarakat mendorong berkembangnya kontestasi narasi yang berimplikasi pada terbentuknya komunitas memori yang berbeda. “Hasil dari konstruksi memori dapat terlihat dalam berbagai monumen, baik material seperti kuburan atau patung, maupun dalam wujud monument simbolik seperti struktur sosial dan institusional, ekspresi, slogan, atau gerakan seperti mobilisasi politik,” terangnya.
Penelitian ini juga membahas hubungan antar-agama yang harmonis di Uluway dan Rantebua sebagai lingkungan peristiwa dari memori. “Terlihat keinginan kuat masyarakat untuk memproteksi komunitas mereka dari berbagai nilai dan provokasi yang berpotensi mengganggu harmoni internal mereka.” tutup Lidya yang merupakan lulusan doktor ke-3871 dari UGM ini. (ags)