Bioteknologi UGM Gelar Seminar Internasional Bioteknologi Pertama

Peserta Seminar Internasional Bioteknologi 2017 tampak memenuhi Ruang Auditorium  Gedung Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (07/10). Seminar yang diselenggarakan oleh Program Studi Pascasarjana dan Pusat Studi Bioteknologi Sekolah Pascasarjana UGM ini merupakan seminar internasional pertama yang sebelumnya selama empat tahun berturut-turut merupakan seminar nasional.

“Mengingat networking yang sudah terbentuk dengan peneliti di luar negeri, kami rasa sudah saatnya seminar internasional ini diselenggarakan,” ujar Dr. Yekti Asih Purwestri, M.Si, selaku ketua panitia. Yekti menambahkan bahwa pada seminar nasional di tahun-tahun sebelumnya pernah mengundang pembicara dari luar negeri. Oleh karena komunikasi yang baik tetap terjaga, maka Seminar Internasional Bioteknologi 2017 dapat terlaksana.

Seminar internasional dengan tema “Biotechnology, Sustainability, and Humanity” ini terdiri dari beberapa kegiatan. “Acara utama kami adalah Keynote Speech dengan empat orang pembicara. Selain itu ada pula seminar poster dan oral,” jelas Yekti.

Empat orang pembicara tersebut adalah Prof. Montarop Yamabhai dari Suranaree University, Thailand; Prof. Reiko Shinkura dari Nara Institute of Science and Technology (NAIST), Jepang; Prof. Dr. rer. nat. Bernhard Grimm dari Humboldt University, Jerman; dan Prof. Dietmar Haltrich dari Boku University, Vienna.

Pada sesi pertama, Prof. Montarop Yamabhai menyampaikan penelitiannya mengenai pembuatan kit dari antibodi monoklonal untuk mendeteksi mikotoksin yang mencemari produk pertanian baik saat di lapangan maupun di tahap penyimpanan.

“Mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh toksin tersebut terhadap kesehatan hewan dan manusia, maka sangat penting untuk memonitor kontaminasi mikotoksin pada bahan pangan.” tutur Montarop.

Masih mengenai antibodi monoklonal, Prof. Reiko Shinkura dalam penelitiannya juga memanfaatkan antibodi monoklonal IgA sebagai pengatur mikrobia di usus dan dapat mencegah terjadinya peradangan usus pada hewan uji tikus. “Dengan pemberian antibodi IgA secara oral dapat memberikan efek penyembuhan terhadap peradangan usus melalui mekanisme penyembuhan yang melibatkan pengaturan mikrobia di usus.” ungkapnya.

Pembicara selanjutnya yaitu Prof. Dr. rer. nat. Bernhard Grimm yang membahas mengenai pentingnya klorofil pada proses fotosintesis dan dampak fotosintesis terhadap ekosistem ketika terjadi perubahan cuaca secara global. “Oleh sebab itu, nantinya akan timbul penggunaan alternatif dari klorofil ataupun proses fotosintesis buatan yang melibatkan peran bioteknologi.” ujar Bernhard.

Prof. Dietmar Haltrich menyampaikan materi mengenai pentingnya peran enzim lytic polysaccharide monooxygenase (LPMO) sebagai pendegradasi lignoselulosa. Lignoselulosa sendiri diketahui sebagai sumber yang dapat diperbaharui dan ketersediaannya sangat tinggi di seluruh dunia namun sulit didegradasi. “Bahkan saat ini sudah dalam tahap komersialisasi enzim LPMO yang mampu memecah atau mendegradasi lignoselulosa tersebut.” ungkapnya.

Seminar Internasional Bioteknologi pertama ini berhasil menjadi wadah bagi 38 presenter poster dan 58 presenter oral yang terbagi atas empat bidang: kesehatan, pertanian, industri, dan lingkungan yang berasal dari Indonesia, Jepang, Jerman, dan Malaysia. “Harapannya dengan kegiatan ini dapat meningkatkan sumber publikasi di bidang bioteknologi yang dapat diterbitkan ke dalam bentuk jurnal. Selain itu kegiatan ini juga memiliki tujuan untuk membangun networking yang lebih luas antar peneliti maupun dengan mahasiswa.” terang Yekti.

Selain seminar internasional, Bioteknologi UGM juga menyelenggarakan pelatihan biologi dan fisiologi molekuler tumbuhan berkolaborasi dengan Prof. Dr. rer. nat. Bernhard Grimm berserta dua mahasiswa Humboldt University, Daniel Heys dan Josephine Herbst. Kegiatan ini didukung oleh Program World Class Professor dari Kementrian Riset Teknologi Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. “ Kegiatan ini berlangsung selama lima hari, 2-6 Oktober 2017. Peserta yang terlibat berasal dari mahasiswa pascasarjana UGM, mahasiswa universitas Indonesia lainnya, mahasiswa NAIST, juga dosen dan teknisi laboratorium UGM.” jelas Yekti. (SPs UGM/ags)